Followers

Wednesday, March 09, 2011

Kebaikan memanggil nama penuh dalam islam


tertarik pada kate-kate seseorang panggil nama mu dgn nama penuh...jd panggil lah sy Siti Khairunnisa Bt Arshad)

Memberikan nama yg baik adl salah satu tugas orang tua bagi anak yg baru lahir. Ada aturan-aturan yg harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.
Sosok mungil itu telah ada dlm dekapan hangat sang ibu. Tibalah saat dia mendengar sapaan sang ayah yg penuh kasih sayang memanggil dgn nama yg diberikan baginya. Nama yg indah disertai dgn harapan yg membuncah semoga perjalanan hidup si buah hati kelak akan sebaik nama yg disandangnya.

Barangkali jauh hari sebelum si kecil lahir ke dunia tdk kurang banyak nama yg dirancang oleh ayah dan ibu dilatari oleh sekian banyak pertimbangan. Ada yg ingin menamai anak dgn nama tokoh yg dikagumi disertai harapan anak akan sehebat tokoh itu. Ada yg membuat nama dari petikan suatu peristiwa penting utk mengenang peristiwa itu. Ada pula yg sekedar mempertimbangkan faktor “keren dan enak didengar”.

Si kecil tumpuan harapan sudah semesti ayah bunda memberikan nama yg terbaik bagi diri nama yg dicintai oleh Rabb semesta alam. Tidak ada jalan lain utk mendapatkan kecuali menelaah kembali bagaimana Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan seputar seluk-beluk nama kepada kita.

Pada hari pertama hadir buah hati di dunia sang ayah boleh memberikan nama padanya. Kita bisa menyimak kisah pemberian nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada putra Ibrahim.
“Semalam telah lahir anak laki-lakiku mk aku beri nama dia dgn nama ayahku Ibrahim.”
Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa kisah ini menunjukkan boleh memberikan nama anak pada hari kelahirannya.

Juga kisah-kisah lain ketika para sahabat membawa anak yg baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beliau memberikan nama pada hari itu juga. Kita lihat dlm kisah kelahiran ‘Abdullah bin Az Zubair z ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mentahniknya:
“Kemudian beliau mengusap dan mendoakan kebaikan bagi serta memberi nama ‘Abdullah.”
Demikian pula dlm kisah lahir ‘Abdullah bin Abi Thalhah z ketika Anas bin Malik z membawa ke hadapan beliau:
“Kemudian beliau mentahnik dan memberi nama ‘Abdullah.”
Juga ketika Abu Usaid z membawa putra kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada hari kelahirannya:
“Maka pada hari itu beliau memberi nama AlMundzir.”
Begitu pula penuturan Abu Musa Al Asy’ari z:
“Telah lahir anak laki-lakiku lalu aku membawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mk beliau memberi nama Ibrahim dan mentahnik dgn kurma.”

Namun di sisi lain kita dengar penjelasan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh sebagaimana yg dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui lisan yg mulia:
“Setiap anak tergadai dgn aqiqah mk pada hari ketujuh disembelih hewan dicukur rambut dan diberi nama.”

Untuk memahami dua sisi ini kita buka penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani t. Beliau mengatakan bahwa anak yg tdk hendak diaqiqahi mk pemberian nama tdk ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yg terjadi dlm kisah Ibrahim bin Abi Musa ‘Abdullah bin Abi Thalhah demikian pula Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ‘Abdullah bin Az-Zubair krn tdk ada penukilan yg menyatakan bahwa salah seorang di antara mereka diaqiqahi. Sedangkan anak yg hendak diaqiqahi mk pemberian nama ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yg ada dlm hadits-hadits lain.

Pun ayah bunda tdk lupa memilihkan nama terbaik bagi anaknya. Namun toh semua itu tetap tdk lepas dari tinjauan syariat ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan tuntunan.
“Sesungguh nama yg paling dicintai oleh Allah adl ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.”
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini menunjukkan keutamaan kedua nama itu atas seluruh nama demikian dijelaskan oleh Al Imam an-Nawawi .
Ayah dan ibu pun bisa memilihkan nama dari deretan nama-nama para nabi. Bahkan demikian yg dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bagi putra dan demikian pula yg beliau berikan kepada anak-anak sahabatnya. Beliau berikan nama Ibrahim kepada anak Abu Musa Al Asy’ari dan Yusuf kepada anak ‘Abdullah bin Salam sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Yusuf bin ‘Abdillah bin Salam:
“Rasulullah memberiku nama Yusuf dan mendudukkan aku di pangkuan beliau serta mengusap kepalaku.”
Tak layak dilalaikan ada nama-nama yg haram disandang. Kita bisa melihat penjelasan Rasulullah  mengenai hal ini.
“Sesungguh nama yg paling hina di sisi Allah adl seseorang yg bernama Malikul Amlak .” Ibnu Abi Syaibah menambahkan dlm riwayatnya: “Tidak ada raja kecuali Allah .” Al Asy’atsi berkata bahwa Sufyan mengatakan:“Seperti Syahan Syah.”
Kita simak ucapan Al Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa pemakaian nama ini haram demikian pula memakai nama-nama Allah  yg khusus bagi diri-Nya seperti Al Quddus Al Muhaimin Khaliqul Khalq dan sebagainya.
Penamaan yg terlarang ini tdk hanya mencakup dlm lafadz bahasa Arab namun lafadz dlm bahasa lain apabila makna demikian pun terlarang. Kita lihat dlm hadits di atas Sufyan bin ‘Uyainah t memasukkan nama Syahan Syah – yg bukan berasal dari lafadz bahasa Arab namun bermakna serupa dgn Malikul Amlak – dlm larangan ini.
Hal ini dijelaskan oleh Imam Al Mubarakfuri. Beliau menyatakan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah memberikan peringatan bahwa nama yg tercela ini tdk terbatas pada Malikul Amlak saja. Akan tetapi seluruh nama yg menunjukkan makna tersebut dgn bahasa apa pun termasuk dlm larangan ini.
Begitu pula nama-nama yg mengandung tazkiyah1 ataupun nama-nama yg buruk sehingga didapati kisah-kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama-nama itu dgn nama yg lbh baik. Inilah penuturan ‘Abdullah bin ‘Umar mengungkapkan apa yg dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Anak perempuan ‘Umar bin Al Khaththab bernama ‘Ashiyah mk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberi nama Jamilah .”
Ibnul Atsir t mengatakan –dalam penjelasan beliau yg dinukil di dlm ‘Aunul Ma’bud– bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama ‘Ashiyah tersebut krn syi’ar seseorang yg beriman adl taat kepada Allah sementara kemaksiatan adl lawan dari ketaatan.
Selain itu ada pula putri Abu Salamah yg semula bernama Barrah kemudian diganti oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dgn nama Zainab. Dia mengisahkan sendiri peristiwa ini:
“Dulu aku bernama Barrah kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberiku nama Zainab.”
Bahkan kedua istri beliau Zainab bintu Jahsy dan Juwairiyah bintu Al Harits c semula bernama Barrah kemudian beliau mengganti nama mereka berdua.
Al Imam An Nawawi t memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits di atas mengandung makna penggantian nama yg jelek atau nama yg dibenci menjadi nama yg baik. Telah pasti pula ada hadits-hadits yg menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama banyak sahabat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan pula bahwa alasan penggantian nama ini ada dua yaitu krn mengandung tazkiyah atau dikhawatirkan terjatuh pada tathayyur2.
Kita lihat dlm kisah Ibnu ‘Umar z di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tdk mengganti nama putri ‘Umar bin Al Khaththab z menjadi Muthi’ah – padahal lawan dari kata ‘Ashiyah adl Muthi’ah – krn ditakutkan nama tersebut mengandung tazkiyah.
Ada satu hal yg perlu diketahui dlm Islam disyariatkan memanggil seseorang dgn nama kunyah3 walaupun orang itu belum memiliki anak. Demikian pula yg dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seorang anak kecil seperti yg kita dengar dlm penuturan oleh Anas bin Malik z:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adl orang yg paling baik akhlak dan aku mempunyai saudara laki2 yg telah disapih bernama Abu ‘Umair. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang kemudian melihat beliau biasa mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Umair! Apa yg dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain-main dgn burung kecil itu.”

Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini menunjukkan boleh memberikan nama kunyah kepada seseorang yg belum memiliki anak atau kepada anak-anak dan ini bukan termasuk dusta. Demikian dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi ketika membicarakan hadits ini.
Manakala telah gamblang tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apakah selayak seorang ayah atau seorang ibu –yang ingin mempersembahkan seluruh kebaikan bagi putra-putri yg mengemban segenap harapan mereka– akan melalaikan hal ini? Karena bagaimanapun sebaik-baik tuntunan adl tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

No comments: